“Tiiitt...” suara
klakson motor Yuni dari parkiran.
“Jadi pergi gak???”
tanyanya setengah emosi karna lama nungguin musyawarah kami yang gak siap-siap
dari tadi.
“Kita mau bawa apa? Gak
mungkin kita pergi pake tangan kosong kan?” tanya Zoya, mengulangi musyawarah
yang belum ada keputusan pasti itu.
“Kita kumpulin uang
kita seadanya aja gimana? Yang kita penting pergi” jawabku tanpa pikir panjang.
Abisnyaaa aku penasaran sama rohingya-rohingya itu, masa Cuma gara-gara gak ada
sumbangan kita gak boleh pergi sih -__-
“Ah! Aku gak ikutan
lah, “ beberapa teman tereliminasi. Mereka memutuskan pulang aja, katanya sih
malu-maluin.
“Oke, kita kumpulin
sumbangan seadanya aja” sahut sebagian yang lain, mereka setuju dengan
pendapatku. Yuhuuu akhirnya...
Kami pun mengumpulkan
uang seadanya dan membeli beberapa makanan untuk dibawa, walaupun dikit yang
penting kan ikhlas, hehe...
Petualangan
dimulai, kami menempuh perjalanan satu jam dari kampus menuju tempat warga
rohingya diungsikan. Lelah sih, tapi rasa penasaran lebih besar dari rasa lelah
itu sendiri. Akhirnya kami sampai disalah satu desa di Aceh Utara yang tepat
berada di pesisir pantai. Disinilah tempat muslim rohingya berlindung dari
segala kekacauan yang mereka alami, mereka ditempatkan di sebuah lapangan luas
di pinggir pantai tersebut, disediakan barak-barak untuk mereka tidur, ada juga
toilet darurat yang dibangun oleh relawan dan masyarakat sekitar. Ini
mengingatkanku pada pengungsi korban tsunami 10 tahun silam, tak terbayang
seberapa berat beban yang meraka rasakan.
“Kayaknya itu tenda
tempat menampung bantuan”. Tunjuk Yuni sambil membawa kotak berisikan sumbangan
ke sebuah tenda.
“Ini dari mana dek??”
Tanya salah satu relawan disitu.
“Ini dari anak kost
bang” cetus April yang diikuti gelak tawa kami dan relawan yang ada disitu.
“Terima kasih ya
dek...”
Setelah
berbincang sejenak, kami pun memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat warga
rohingya yang sedang beraktifitas. Kulihat ada sekumpulan orang yang sedang
mengerumuni salah satu warga rohingya. Tak mau ketinggalan, kami juga ikutan
berada diantara kerumunan itu. Ternyata seorang ustad sedang mewawancarai salah
seorang warga rohingya menggunakan bahasa arab. Gak ngerti sih mereka ngomong
apa, tapi ikutan aja nanti juga ngerti sendiri (kalo monyet udah bertelur).
“Katanya, mereka gak
mau balek lagi kesana, mereka betah disini. Orang-orangnya ramah dan menyambut
mereka dengan baik”. Kata Nurmalinin mentranslitkan pembicaraan para ustad itu.
Nurmalinin alias Ninin adalah seorang ustazah dari sebuah pesantren terpadu
dekat kampus, jadi wajar aja dia ngerti bahasa arab.
Tak
lama kemudian, seorang warga rohingya yang bisa berbahasa melayu ikut berbicara
dalam kumpulan itu. Dia menceritakan banyak hal, katanya mereka disana dilarang
azan, shalat bahkan mushaf alquran pun dibakar oleh orang-orang dari etnis
budha, yang lebih parahnya lagi mereka membunuh bayi didepan ibunya sendiri.
Masya Allah... dimana rasa kemanusiaan mereka??? Dia juga bilang, ketika mereka
dikapal, jika ada yang meninggal langsung dishalatkan dan dibuang ke laut. Ya
Allah, tak tahan aku mendengarnya. Kucoba mengalihkan pandanganku ke arah lain,
malu lah kalo ketauan nangis. Tapi keknya bukan aku aja yang mau nangis disitu,
kuliat Zoya juga menundukkan kepalanya. Hayooo... nangis ya joy?? Cemen amat,
hihi
Setelah
lama mendengar curahan hati mereka, kami pun kembali berkeliling. Kali ini kami
menemui kumpulan anak-anak yang sedang bermain di ayunan yang disediakan.
Kulihat tawaan mereka, terselip rasa lega di hati. Rupanya mereka udah bisa tersenyum...
“Who can speak english
here??” tanyaku mencoba berkomunikasi dengan mereka.
“No, no, no,” kurasa
hanya itu yang mereka tau.
Disini titik
kesulitannya, kami tak bisa berkomunikasi dengan mereka. Setelah lama
berkeliling, kami melihat sekumpulan gadis sedang berkumpul sambil menjemur
pakaian. Kami pun mengahampiri mereka. Mereka menyambut kami dengan baik.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, boyo
boyo “ kata salah satu gadis kecil.
“Indonesia duduk, burma
boyo” sambungnya lagi. Dia terlihat seperti gadis periang, tiap ngomong pasti
ketawa (mungkin dia lagi ngetawain kami karna gak ngerti bahasanya)
Aku kembali mencoba
berkomunikasi. Kutanya namanya, tapi dia gak ngerti. Aku pun memperkenalkan
namaku dan teman-temanku.
“Ini Riza, Zoya,...”
kataku sambil menunju-nunjuk.
“Oo.. nam?? Khamzam “
katanya memperkenalkan diri dan kawan-kawannya.
“Keluargamu mana?”
tanyaku menggunakan bahasa isyarat. Lagi-lagi dia gak ngerti.
“Your father? Mother?”
sambungku lagi diikuti isyarat tangan. Kali ini mungkin dia agak ngerti. Dia
berbicara menggunakan bahasa burma yang juga diikuti isyarat tangan. Dia bilang
dia sendirian disini, orang tuanya tidak disini. Agak sedikit membuatku
menghela nafas panjang. Seorang gadis kecil? Sendirian?
“Umurmu berapa?” kali
ini dia semakin bingung. “umur” kataku lagi dengan isyarat tangan.
“oo boch” katanya
sambil menunjukkan jari tangannya 10 dan 3, artinya dia 13 tahun.
Subhanallah
13 tahun harus terpisah dari keluarga dan mengalami banyak tekanan seperti ini
tapi dia bisa sekuat ini, masih bisa tertawa seakan tak terjadi apa-apa. Aku
mungkin tak akan sekuat dia.
Masih
banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, tapi keterbatasan bahasa membuatku
menyerah, aku terdiam sejenak memikirkan isyarat apa lagi yang akan kutampilkan. Tiba-tiba dia menyentuh
tanganku dan menunjukkan cincin yang kupakai kepada temannya. Aku gak ngerti
mereka ngomong apa (mungkin mereka bilang cincinnya bagus, hehe). Mereka
mengisyaratkan ingin membeli cincinku (ngertinya setengah jam kemudian). Aku
bingung jawabnya gimana, cincin ini pemberian bunda dan gak dijual.
“this is gold and
expensive” kataku sambil mengisyaratkan segunungan uang. Tetap aja mereka gak
ngerti. Aku masih tak mau menyerah, kutunjukkan cincin itu diikuti dengan
tanganku yang menyilang (susah jelasinnya). Gak tega sih, tapi mau gimana lagi?
Gak mungkin aku jual cincin ini. Sebenarnya aku punya cincin murah yang gak
terpake dirumah, tapi tak terbawa -_- Aku bertekad suatu hari nanti kalo
Dikasih kesempatan jumpa lagi dengan khamzam insya Allah akan kuberikan
beberapa cincinku yang tak terpakai lagi.
Sampai jumpa lagi
Khamzam... semoga senyum indah itu masih tetap terukir di wajah mungilmu J
dan semoga Allah melindungi kalian semua, wassalam J
Aceh Utara, 26
Mei 2015